12.30.2010

Rampokan Macan, Salah Satu Penyebab Punahnya Harimau Jawa

Suatu siang yang terik di alun-alun kota Kediri. Ribuan orang berjejal memenuhi alun-alun, menimbulkan suasana hiruk pikuk. Mereka berdiri berdesakan mengelilingi alun-alun dan membuat arena dalam bentuk lingkaran besar, sedangkan orang yang berdiri bersiap ke belakang.

Sedangkan yang berdiri di barisan paling depan masing-masing memegang tumbak yang runcing. Semuanya bersikap siaga, berdiri tegak dengan pandangan tajam mengawasi si macan tutul yang berlarian di tengah arena. Jika si harimau lari ke Timur, dihalau ke Barat, dengan sendirinya sambil ditusuk dengan ujung tombak yang runcing dan tajam. Para penonton pun bersorak sorai riuh sekali, seperti membelah bumi dan meruntuhkan langit tanggal 1 Syawal, sekitar pukul dua belas siang.


Tidak berapa lama macan tutul tadi sudah luka parah dijadikan sasaran ribuan tombak. Ada yang langsung mati dengan luka tak terhitung jumlahnya, mirip Abimanyu ketika menjadi Senapati saat Perang Baratayuda Jayabinangun, saat dikeroyok para Kurawa dan akhirnya gugur dengan terluka parah.

Namun demikian, ada juga harimau yang lolos dan selamat dari kepungan tombak, kemudian melarikan diri dari arena. Jika terjadi demikian, para penonton makin riuh, lari ke sana kemari untuk menyelamatkan diri. Yang tidak memegang tombak berlarian tanpa arah, berusaha jangan sampai menjadi mangsa harimau.


Begitulah gambaran secara singkat saat merayakan Hari Raya Lebaran atau yang dalam bahasa Jawa disebut Bakda, pada zaman kuno, sekitar tahun 1890-an sampai dengan 1900-an*. Tradisi menombak harimau itu biasa disebut ngrampog.

Kandang macan
Ketika tradisi rampogan ini dikerjakan, masih banyak ditemukan harimau di
hutan-hutan. Harimau-harimau tadi sering mengganggu petani karena sering makan hewan ternak, terkadang juga memangsa manusia. Karena itu para pejabat atau penguasa memerintahkan menangkap harimau yang merugikan petani tersebut.


Bahkan jika perlu dibunuh. Yang bisa menangkap sekaligus membunuh harimau akan diberi hadiah sepuluh sampai dengan lima puluh gulden, tergantung besar atau kecilnya si macan.

Untuk merayakan Hari Lebaran setelah berpuasa sebulan penuh, zaman dulu hampir di seluruh kabupaten di jawa umumnyamengadakan diadakan berbagai macam keramaian. Ibaratnya, semua penduduk hadir di alun-alun, menonton keramaian menyambut Lebaran. Berhubung Idul Fitri merupakan Hari Raya yang hanya sekali dalam setahun, maka saat eksekusi terhadap harimau yang tertangkap tadi dijatuhkan bersamaan dengan jatuhnya Hari Pertama Idul Fitri, atau tepatnya tanggal 1 Syawal, sekaligus dijadikan tontonan atau hiburan.


Bersamaan dengan keramaian rampogan, arena yang luas di alun-alun dikelilingi ribuan orang, yang berdiri tegak memegang tumbak. Semua mata tertuju ke kandang macan. Dengan peralatan yang dapat menarik pintu ke arah atas, maka tatkala tali ditarik dari kejauhan, kerangkeng itu akan rusak berantakan, dan menimpa harimau di dalamnya. Karena terkejut, harimau lari keluar, yang akan disambut dengan ribuan tombak yang runcing. Inilah yang disebut rampogan, atau dengan kata lain membunuh harimau dengan cara dirampog atau dikeroyok dengan ribuan senjata.

Lebaran dan Barisan
Menjelang pukul delapan para penggede atau priyayi bersiap dengan berdandan habis-habisan, memakai kampuh dan kuluk, duduk lesehan, masing-masing membawa tikar atau alas duduk. Sekitar pukul delapan tiga puluh, secara serentak para pembesar tadi masuk ke Paseban (tempat untuk menghadap para pembesar) dan menggunakan payung untuk berlindung dari terik matahari. Perjalanan mereka diiringi dengan Gendhing Monggang.


Di Paseban para pembesar tadi diterima oleh sang Bupati dengan salam selamat datang. Sedangkan para pembesar dari negeri seberang menyampaikan penghormatan kepada Bupati, kemudian dilanjutkan dengan arak*-arakan encek yang mengelilingi arena dan berhenti di depan pendapa.

Acara dilanjutkan dengan membawa hidangan dari pendopo Kabupaten yang
selanjutnya diserahkan kepada Pengulu di Masjid, untuk diadakan doa selamat.
Setelah acara selesai, para pembesar kembali ke peristirahatan untuk berganti
baju keprajuritan.

Mereka memakai celana, jas tutup hitam yang biasa digunakan untuk menghadap bupati (sikep), ikat kepala (udheng) dan topi pet, membawa
keris dan selanjutnya diselipkan di punggung; kemudian mencari tempat duduk
sesuai dengan golongan, wilayah, dan kedudukannya, di sekitar Beringin Kurung.

Sedang para tamu dari negeri seberang, Nyonya dan Tuan, para bangsawan putri, nonton dari atas panggung. Setelah barisan priyayi tadi keluar dari mesjid, para lurah sudah bersiaga dalam barisan sesuai dengan tempatnya. Semua menancapkan tumbaknya ke tanah, berjajar dengan jarak sekitar 30 sentimeter, mengelilingi arena hingga empat atau lima lapis.

Tombak yang tangkainya pendek diletakkan di depan, yang tangkainya panjang di belakang. Pukul sebelas, bupati, patih, dan mantri kabupaten serentak masuk barisan. Bupati mengendarai kuda abu-abu, menerabas untuk memundurkan barisan yang terlalu maju. Setelah semua siap dan tertata rapi, sang Bupati naik ke atas panggung bersama para tamu. Hal tersebut merupakan isyarat bahwa rampogan segera dimulai.



Di antara barisan di beringin kurung dan barisan di pinggir ada peti kayu
dengan panjang sekitar 1,5 meter, dengan tinggi sekitar 60 sentimeter, ditata
menghadap keluar, membelakangi barisan dalam. Itulah kerangkeng harimaunya, yang masih terkunci dengan dipantek bambu, ditutup dengan papan, diberi pengait panjang hampir mencapai Beringin Kurung. Tukang melepas harimau yang disebut gandek juga sudah bersiaga di barisan bagian dalam.

Tepat pukul dua belas, gandek diberi isyarat untuk melepas harimau. Biasanya, yang dikukuhkan menjadi gandek adalah Kepala Desa yang pemberani dalam
menghadapi macan. Setelah menyembah Bupati, gandek naik ke atas kerangkeng, menebas pantek bambu. Setelah selesai, ia turun dan masuk ke dalam barisan.

Selanjutnya tali ditarik, kerangkeng-kerangkeng berantakan papan penutupnya, jatuh menimpa si harimau. Si harimau menengok ke kanan dan ke kiri, mungkin karena silau, atau pusing karena kejatuhan papan. Bahkan, ada harimau yang lucu, keluar dari kerangkeng hanya terbengong sekitar lima menit, berjalan pelan, termenung sebentar kemudian menguap, termenung lagi, bergulung-gulung di rerumputan, terlentang, berpanas matahari.

Orang-orang yang menonton bersorak-sorak gegap gempita, dengan maksud
agar harimau segera lari menerabas barisan tombak. Jika harimau tidak menghiraukan, kemudian ada yang melempar kembang api, didatangi, digoda serta diacungi tombak.

Ada suatu kejadian di Blitar. Kebetulan harimaunya galak, ditangkap dari hutan
Lodaya. Namun karena Bupati Blitar memiliki senjata berupa cemeti yang ampuh, harimaunya menjadi jinak, bisa diajak bermain seperti anak kucing yang digoda dengan bulu.


Sumber

Type your email here for subscribing this blog:

15 comments:

  1. ini nih yang membuat harimau punah. huh.


    salam.

    ReplyDelete
  2. Kita bau menyadari setelah punah... , prihatin... lambat laun hewa2 lain juga bisa mengalami hal serupa

    ReplyDelete
  3. Weh,, kasian banget ya sob..? napa harus di korbankan gitu..? pa gk ada tradisi yg laen tuh...?

    ReplyDelete
  4. Kunjungan balik..terima kasih atas kunjungan dan komentarnya

    ReplyDelete
  5. kayaknya aturan pemerintah harus tegas agar satwa langka tidak punah...

    ReplyDelete
  6. Harimau perlu di jaga kelestariannya jangan dibiarkan punah,,, gimana sih neh para pemburu???

    ReplyDelete
  7. semoga tidak ditembaki dari worldcup-champion.blogspot.com/

    ReplyDelete
  8. andai saja saya punya senjata buat menjinakkan harimau, pasti asik banget mas..hehehe
    kunjungan balik, salam kenal



    salam, ^_^

    ReplyDelete
  9. Ternyata orang Jawa sadisnya minta ampun....dan hanya penjajah Belanda yang bisa menghentikan.

    ReplyDelete

Kalau kamu mau komentar tapi gak punya web, pilh aja bagian "Name/URL" trus di bagian name, tulis nama kamu. Di bagian URL, kamu kosongkan saja. Sebisa mungkin jangan pake anonim, karena bisa saja saya hapus.

Berkomentarlah "Sesuai Dengan Isi Posting". Terima kasih...